Ironi Pertambangan indonesia
Pertambangan
masih menjadi primadona penggerak ekonomi Pulau Kalimantan. Aktivitas
penambangan pola shovel dan truk, 24 jam berlangsung tanpa henti.
Hutan
sebagai sumber daya alam (SDA) yang vital untuk kehidupan justru dilupakan.
Belum lagi bicara karbon, satu hektar hutan mampu menyerap karbon 200-350 ton.
Memang ironis, aktivitas eksplorasi pertambangan sering kali berbenturan dengan
konservasi SDA.
Bicara
soal Kalimantan, dalam hal kerusakan lingkungan, siapa yang harus bertanggung
jawab?
Keserakahan
Pemanfaatan
SDA untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup manusia, alam masih bersahabat.
Namun, saat SDA dijadikan komoditas tanpa batas, alam punya jawaban sendiri.
Saat ini, harga hasil tambang sebagai komoditas bergerak begitu fluktuatif.
Bukan hanya atas perhitungan statistik penawaran dan permintaan, tetapi juga
lebih pada permainan spekulan dalam pasar komoditas tambang. Tidak disadari
pelaku penambangan, kondisi ini menyeret semua aktivitas pertambangan masuk ke
ruang keserakahan.
Sejak
UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sampai
diberlakukan otonomi daerah, izin kuasa penambangan (KP) hanya berjumlah
650-an. Akibat terbukanya kebijakan, diperkuat ekstrimnya harga komoditas
pertambangan, jumlah KP kini hampir 8.000-an, di luar yang ilegal. Dulu,
sebagian komoditas pertambangan, seperti batu bara, ditempatkan sebagai energi
vital dan strategis sehingga pemerintah pusat terlibat. Kini, batu bara dinilai
sekadar komoditas.
Pada
dasarnya, secara teknis, aktivitas pertambangan mustahil dapat dioperasikan
pada luasan konsesi kecil. Ada batasan minimal untuk infrastruktur opera- si
penambangan , khususnya untuk praktik penambangan yang baik. Saat luasan kecil
dipaksakan operasi, mulailah terjadi kerusakan di sekitar areal tambang yang
berpotensi merusak bentang alam. Pertambangan yang awalnya dibangun untuk
meningkatkan kesejahteraan, sekarang terbalik akibat eksploitasi SDA yang sama
sekali tak mengindahkan lingkungan. Kualitas lingkungan mengalami penurunan,
bahkan menuju kehancuran.
Berbeda
dengan penambang skala kecil, penambang skala besar, pemilik kontrak karya
(KK), dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) lebih
mampu mengendalikan dampak kerusakan lingkungan. Sebetulnya, faktor manusia
berperan penting karena rencana eksplorasi dan eksploitasi, sampai penutupan
tambang, selalu diaudit pihak-pihak kompeten. Namun, meningkatnya jumlah KP tak
dapat dihindarkan saat harga batu bara terus naik.
Ini
lebih diperparah oleh pemilihan kepala daerah secara langsung yang membutuhkan
biaya besar. Muncul sikap pragmatis sebagian kepala daerah yang terpilih untuk
mengejar keuntungan. Perhitungan tatanan unsur lingkungan diabaikan. Kegiatan
investasi hanyalah jalan legal memperbesar pendapatan asli daerah, selain untuk
keuntungan pribadi/kelompok. Daerahpun berlomba mencari alternatif penerimaan
daerah.
Bagi
pemda memang tak mudah menemukan alternatif potensi daerah yang secara instan
membawa hasil signifikan. Kekayaan alam yang ada di depan mata akhirnya memicu
semaraknya izin tambang baru. Perilaku keserakahan ”raja kecil” tidak dapat
dihindarkan, bahkan pemerintah pusat kehilangan kendali.
Dukungan
politis pemda, sikap abai terhadap ekosistem, kurangnya tenaga inspektur
tambang, serta eksplorasi dan eks- ploitasi pertambangan mengakibatkan
morfologi dan fisiologi berubah tanpa rencana, pencemaran sungai, pemotongan
vegetasi serampangan, dan munculnya potensi erosi dan longsor. Optimalisasi SDA
meleset. Dalam jangka panjang, selain masalah lingkungan, muncul pula masalah
sosial, ekonomi, maupun budaya yang seolah jadi tanggung jawab ”raja kecil”
berikutnya.
Solusi
ke depan
Masalah
Kalimantan akibat aktivitas pertambangan yang kurang terkontrol sudah
sedemikian kompleks. Namun, upaya memperbaiki harus terus diperjuangkan.
Solusinya, mustahil terselesaikan dengan keluarnya UU Minerba Nomor 4 Tahun
2009, ataupun peraturan pemerintah yang sampai saat ini belum semuanya keluar.
Saat
ini perlu audit lingkungan tambang secara lebih menyeluruh, memperbesar jumlah
inspektur tambang. Dari jumlah izin usaha pertambangan (IUP), bahkan perlu
sekitar 1.000 inspektur tambang untuk lima tahun ke depan. Selain itu,
pemerintah pusat ataupun daerah harus tegas, tanpa kompromi, mendorong
penegakan hukum, terutama kepada pengusaha yang jelas-jelas merusak lingkungan.
Berlakunya
UU Minerba terbaru mengharuskan laporan izin KP, lokasi, kandungan, dan luasan
agar wilayah pertambangan (WP) segera diselesaikan pemerintah pusat,
berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Informasi WP, wilayah pertambangan
negara (WPN), dan wilayah pertambangan rakyat harus secepatnya keluar sebagai
masukan dalam tata ruang nasional. Pola lelang menjadi transparan.
Di
sini, good governance akan terwujud. Akuntabilitas, transparansi, dan
partisipasi masyarakat menjadi tiga prinsip penting. Ini lebih akan mempertegas
untuk menilai legalitas suatu tambang sehingga tak ada lagi kompromi dan tawar
menawar dalam urusan IUP. Akhirnya, dengan berkurangnya dampak kerusakan
lingkungan, tujuan konservasi akan tercapai, kepentingan nasional dalam
mencadangkan komoditas yang bernilai vital dan strategis dapat dikendalikan,
khususnya untuk memenuhi kepentingan kebutuhan nasional, selain tentunya
kepentingan politis atas WPN yang berada di wilayah perbatasan negara.
Singgih
Widagdo Direktur Indonesian Coal Society (ICS)
0 komentar: