Kecelakaan Industri yang Menjadi Bencana Alam

Salah seorang teman netter menanyakan pendapat saya tentang penangan lumpur ini.
Perlu kehati-hatian dalam menangani hal ini karena sudah menjadi multi dimensi ketika sebuah proses bencana alam terpicu oleh aktifitas manusia. Awalnya sangat mungkin hanyalah sebuah kecelakaan industri, akhirnya “memicu” proses alam yg berkembang menjadi sebuah bencana. Dan akhirnya bermuara kehal-hal yang berdampak luas ke masalah sosial, ekonomi dan akhirnya politis. Ketika sudah berkembang menjadi wacana politis, lagi-lagi diluar kompetensi saya sebagai seorang “natural scientist“.

Seperti yg saya uraikan dalam tulisan-tulisan saya di webblog “dongeng geologi” (http://rovicky.wordpress.com ) dimana saya lebih berkonsentrasi dengan apa yg terjadi dan bagaimana bisa terjadi proses keluarnya lumpur dari perut bumi. Awalnya kejadian ini hanyalah sebuah niatan untuk menambah pasokan energi Indonesia. Niatan ini tentunya terpicu oleh “niat ekonomis”, mencari untung. Proses awal inilah yg mungkin sekali menjadikan kejadian bencana banjir lumpur. Sesuai dengan kompetensi saya, maka saya hanya membatasi proses alami yng terjadi.
Lumpur Lapindo “bukan limbah” dan juga “bukan tailing”.

Lumpur yang keluar itu merupakan material alami bawah permukaan yg keluar dengan sendirinya (tanpa dipompa, dan tanpa “usaha” manusia untuk mengeluarkannya). Lumpur yg keluar ini bisa dan mungkin saja saja keluar akibat terpicu oleh aktifitas pengeboran. Aktifitas pemboran inilah yang “diduga” sebagai penyebab namun perlu diingat bahwa dugaan ini perlu pembuktian pengadilan, sehingga pembahasannya adalah pembahasan aspek hukum yg diluar kompetensi saya.
Menurut penghertian saya “limbah” merupakan side product dari sebuah proses produksi industri yg tidak dapat dipergunakan atau tidak memilki nilai ekonomi. Perlu diketahui juga bahwa lumpur yg keluar ini “bukanlah tailing” dari sebuah proses pertambangan. Tidak ada penambangan apapun dari material yg keluar dari lubang keluarnya lumpur ini. Tidak ada material ekonomis yg sengaja diambil dari lumpur yg keluar ini. Tailing merupakan material ikutan dalam sebuah proses penambangan. Karena bahan tambang memilki konsentrasi rendah maka proses pengambilan bahan tambang ini menghasilkan material bumi yg suangat banyak yg tidak dipergunakan dan disebut “tailing”. Sekali lagi lumpur yg keluar ini bukanlah “tailing”
Sesuatu yg keluar dari alam memang bisa saja bersifat polutan (pencemar), namun polutan dalam hal lumpur di Sidoarjo ini adalah polutan alami, “natural polluter”. Banyak sekali proses-proses dialam dimana sebuah resources (termasuk air) yg tercemar oleh proses alam yg lain. Sehingga resources itu tidak dapat dipergunakan oleh manusia.
Munculnya issue merkuri (Hg)
Hingga saat ini hanya berita dari Tempo yang saya baca mengenai adanya pencemaran bahwa ” hasil analisa Lily Pudjiastuti
(ITS) tentang kandungan merkuri (Hg) yang didapati 2.565 mg/liter Hg (limit 0.002 mg/liter)” dikutip Koran Tempo. Kalau bener ada kandungan sebesar itu berarti lokasi lumpur yg sekarang ada disebut sebagai TAMBANG MERKURI. Coba dihitung saja, kalau debtnya 50 000 meter kubik sehari, berapa kg merkuri yg dihasilkan perhari ?
Kalau yang dimaksud 2,565 mg/liter itu adalah 2.565 gr/liter (karena ambangnya adalah 0.002 mg/l, masalah pengertian . dan , apakah . dalam bahasa Inggris yang sama dengan , dalam bahasa Indonesia) saya akan mengatakan kepada ibu Lily bahwa beliau telah menemukan sumberdaya baru dalam lumpur: “bijih air raksa (Hg)”. Secara guyonan dalam diskusi di Ikatan Ahli Geologi Indonesia ada pameo “wah kita dapat tambang air raksa dalam semburan lumpur ” ) .
Mengapa guyonan ini muncul ? Karena menurut buku Exploration and Mining Geology dari Peters (1978): kadar bijih mercury adalah antara 0.2% sampai 8%. Bahkan kalau benar angka yg disitir oleh tempo tersebut maka bijih Hg ini memprosesnya tidak sulit, sudah keluar sendiri, tidak perlu crusher dan sebagainya tinggal diolah atau disaring saja. Tapi inget tentu lain kalau yang dimaksud adalah 2.565 mg/liter (dua koma lima enam lima). Beda seper seribu dari angka yg dimaksud dalam eksplorasi mineral bijih.
Yang saya khawatirkan issue tersebut menjadi “membusang” dan “membuyat“. Sehingga perlu penelitian ulang unsur-unsur kimia fisika dari material yg keluar dari lubang (sedekat mungkin dengan lubang). Penelitiannya terbuka hasil maupun metodenya termasuk juga penelitian rona awal dari daerah sepanjang sungai Porong. Semua data penelitian ini penting untuk proses pembelajaran bersama. Yang nantinya potensial menjadi konflik adalah, akan muncul ketika siapa yang dianggap independen sebagai peneliti kandungan lumpur ini.
Penanganan banjir lumpur
Bencana banjir lumpur ini berbeda dengan bencana pencemaran tumpahan minyak Exxon dengan muntahnya minyak dari kapal tanker Exxon-Valdez pada tahun 1989 dan juga berbeda dengan bencana industri PLTN Chernobyl. Kedua bencana terakhir ini juga sama-sama dipicu oleh kegiatan manusia, namun jumlah bahan polutan, serta semua parameter teknis awalnya sangat “terukur”. Kita tahu jumlah minyak mentah yg tumpah sebanyak 11 juta gallon, kita tahu secara teknis berapa bobot mati serta konfigurasi dari kapal Exxon-Valdez. Demikian juga dengan parameter-parameter awal dari Chernobyl, kita tahu jumlah bahan-bakar nuklir yang ada, kita tahu konstruksi bangunan PLTN ini. Dalam hal bencana banjir lumpur lapindo ini, kita berhadapan dengan sebuah bencana alam yg tidak diketahui kondisi teknis awal apa yang ada dan yang terukur dengan pasti. Semua parameter berada dibawah permukaan berupa parameter yg sifatnya interpretatif.
Kesamaannya adalah, efek serta dampak lingkungannya menjadi mencengangkan ketika kita tidak mampu mendeteksi apa yg bakal terjadi selanjutnya. Exxon-Valdez maupun Chernobyl menjadi sebuah kecelakaan yg tidak mampu ditangani oleh manusia, demikian juga keluarnya lumpur dari perut bumi ini. Kedua contoh kecelakaan diatas menjadi sebuah bencana mirip seperti bencana banjir lumpur ini ketika tidak dapat dikontrol lagi, dan banyak pula yang menyetarakan tingkat kebencanaannya (uncontrolled).
Karena yg keluar ini merupakan produk alami. Penanganannya semestinya sama dengan menangani proses alam yang lain, penanganan sebuah bencana alam bukan penanganan kecelakaan industri. Secara mental kita harus berpikir bahwa banjir lumpur ini sudah merupakan bencana bukan lagi saatnya berpikir sebagai kecelakaan kerja atau kecelakaan industri lagi. Namun sekali lagi saya tidak mau menyentuh aspek hukum maupun politis, karena kompetensi saya bukan disitu.
Salam
Rovicky Dwi Putrohari



0 komentar:

Posting Komentar